• Hai, Welcome ! Like us on:

Kejujuran



Ternyata aku begitu marah dengan ketidakjujuran, mengingatkanku bahwa nilai ini ternyata amat penting dan sulit untuk kutoleransi. Aku menjadi menganalisa diriku sendiri tentang kemarahanku kepada Aco pagi ini, apakah ini soal ulahnya yang tidak mengerjakan PR lalu tidak paham-paham soal matematika sedangkan yang lain sudah mengerti atau ulah selanjutnya yang bikin aku amat geram... Atau bisa jadi ini adalah akumulasi ulah-ulah sebelumnya.
“Kalian sudah mengerti bagaimana caranya mendapatkan angka 4”  ucapku kepada anak-anak kelas 4. Salwa dan Ugy menjawab dengan penjelasan yang membuatku yakin mereka sudah paham. Lalu aku beranjak kepada Aco, yang dari tadi terlihat santai. Sebelumnya aku selalu bertanya kepada kelasku, “sudah selesai mencatat caranya di papan?”. Anak-anak terlihat lama menulis, dan khusus Aco, dia yang paling kencang menjawab “Sudah enci”,  berkali kali, lagi dan lagi...dia yang selalu bilang paling cepat “ sudah enci”. Jawaban Aco membuatku berfikir bahwa memang dia sudah selesai mencatat. Bagaimana Aco, coba jelaskan bagaimana cara mendapatkan angka 4 itu?”. Aco terlihat bingung dengan pertanyaanku, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab....”tidak tahu enci”, ucap Aco. “Kenapa tidak mengerti Aco, kenapa tadi tidak bertanya?”. Ucapku pada Aco. “Coba dibaca catatan yang tadi”, lanjutku pada anak ini.
Aco kemudian terlihat sangat bingung dengan permintaanku. Dia membolak balik catatannya beberapa kali. Kutegaskan padanya, “mana Aco, mana catatanmu”.   Aku kemudian meminta Aco membawa catatannya kepadaku, dan yap dia hanya mencatat beberapa kata awal saja, sisanya tidak ada. Kenapa Aco, kenapa tadi kamu berkata kepada Enci kamu sudah menyalin?. Aku menanyainya beberapa kali dengan pertanyaan yang sama tetapi dia hanya diam. Suaraku mulai meninggi, bukan hanya karena kejadian hari ini tetapi ketidakjujuran-ketidakjujuran lain yang sebelumnya dilakukan tidak hanya kepadaku tetapi orang sekitarnya.Kenapa kamu tidak bilang saja kalau kamu tidak menyalin Aco?. Rasa kesalku cukup memuncak hingga dengan cepat aku mengatakan banyak hal padanya. “ kalau kamu dari kecil sering tidak jujur begini, bagaimana nanti kalau kamu dewasa, siapa yang akan percaya kepadamu?kita boleh miskin Aco, tapi jangan jadi pembohong. Kalau gurumu saja kamu bohongi, apa kamu juga akan berbohong sama orang tuamu, enci..lebih suka kamu jujur walaupun nilaimu rendah dari pada kamu berbohong Aco”. Saat menulis ini kembali, aku menjadi berfikir, apakah dengan nada yang cukup tinggi tadi, apa yang kukatakan akan dipahami oleh anak ini.  
Aco hanya diam dan menulis-nuliskan sesuatu di meja. Tatap mata enci Aco....kenapa kamu diam saja. Aku kemudian memintanya untuk belajar di luar. “Silahkan keluar kelas saja Aco, kamu boleh pulang atau belajar diperpustakaan” pintaku kepadanya dengan nada yang sudah mulai terkendali. Aco menolak dan berkata “ janggan enci...”.  Aku kemudian mendiamkan dan tidak melibatkan Aco dalam proses pelajaran hingga selesai.
Ketika aku belajar psikologi dan mendapatkan pelatihan di Camp Pengajar Muda aku mendapatkan bekal bahwa secara teori pendidikan yang baik adalah berpusat kepada anak, menumbuhkan kesadaran pribadi, dan mengembangkan sesuai dengan potensi mereka. Sehingga seharusnya pembelajaran dibangun dengan suasana menyenangkan dan kontruks sesuai dengan level usianya. Jadi hei para guru, maka kreatiflah untuk membuat berbagai metode dan media belajar bagi anak. Kadang-kadang, jika menilik apa yang sudah dibekali kepadaku, menjadi sesuatu yang sangat utopis untuk dilakukan di sekolahku. Bekal yang kemudian dari hari kehari terus kubumikan dan mencari jalan tengah untuk mengajarkan sesuatu kepada mereka.
Ketika sebuah kultur yang jauh lebih mudah dengan didikan otoriter dan justru dianggap lebih manjur, atau ketika teguran lembut kepada anak justru tidak mempan????. Ketika pendekatan yang menyenangkan membuat anak kadang menggampangkan sesuatu? Ketika fokus guru seharusnya kepada sedikit anak bukan edisi paralelisme kelas dalam satu waktu, atau ketika menjadi PM dengan statusnya menjadi bagian dari warga desa ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Kesimpulan yang kudapat hari ini adalah sungguh luar biasa guru yang benar-benar berdedikasi itu ya....Ketika diantara banyak tuntutan peran di dalam hidupnya, namun mampu mendidik muridnya dengan baik. Sambil mengevaluasi diriku sendiri yang masih jauh dari kategori ini.
Well, Memang pada akhirnya, butuh tingkat kesabaran ala dewa untuk melakukannya, aku sebagai PM juga manusia bukan...yang bisa marah dan emosi menghadapi beberapa perilaku anak yang diluar toleransiku. Seorang teman pernah berkata kepadaku, marah kepada anak itu kadang-kadang diperlukan, biar anak-anak tau seorang guru itu adalah mengajar bukan menjadi badut yang hanya  membuat mereka senang. Yang terpenting setelah kamu marah adalah proses rekonsiliasi terhadap anak tersebut, sehingga marah akhirnya bisa menjadi pembelajaran untuk anak. Bahkan pada akhirnya di titik ini aku terus bertanya, pun jika akhirnya aku marah kepada anak, bagaimana seharusnya?. Pun nilai-nilai hidup yang kupunya, apakah memang sesuai dengan mereka?. Hemm...Aku sepertinya membutuhkan bekal ilmu lebih dari ini, lebih dari tumpukan buku yang pernah kubaca selama kuliah, atau runtutan uraian petuah dari para pakar yang pernah kudapatkan selama pelatihan. Menjadi seorang guru itu tidak hanya proses untuk terus bisa belajar tetapi cara untuk mencari defisini sabar.
Aco hanyalah salah satu anak dari puluhan anak yang sekarang menjadi bagian dari hidupku, yang dari hari ke hari tidak hanya memberikan pelajaran tetapi juga makna penting dalam diriku...membantuku mengenali lebih jauh apa dan bagaimana diri sebagai bagian proses untuk lebih baik.
Apapun... Alhamdulillah
Yuks, menikmati setiap detik yang sangat berarti...

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berargumentasi. ^_^
Readers may send comments on this post. The contents of comments not represent the views, opinions or policies Ikatan Alumni Titian Foundation and entirely the responsibility of the sender.

Readers can report a comment if it is considered unethical, abusive, defamatory, or redistributed. Ikatan Alumni Titian Foundation will consider each complaint and may decide to keep or delete the comment display.