• Hai, Welcome ! Like us on:

Kalau Indonesia Ya Harus Bisa



Indonesia, ya negara dengan 1000 bahasa, negara dengan ribuan pulau, dan negara dengan segudang kebudayaan. Salah satu negara dengan penduduk terbesar didunia serta memiliki banyak keistimewaan seperti pada bidang keindahan alam, tempat wisata, perkebunan, pertanian, pertambangan dan masih banyak lagi yang terdapat di negara merah putih ini.

 
Semakin bertambahnya abad semakin mengurangi citra bangsa Indonesia serta keinginan bangsa ini untuk berharap bahwa Indonesia akan bisa lebih baik, bisa lebih maju daripada saat ini. Bangsa Indonesia seperti sedang mengalami takdir yang pelik, dimana banyak ujian, cobaan yang kerap terjadi dimana-mana dan seakan tiada habisnya. Dan alasan itulah yang membuat warga Indonesia pesimis menaruh harapan kepada Bangsa yang berlambangkan garuda ini.
Saya mempunyai cita-cita ingin sekali untuk memajukan bidang pendidikan yang mana di landasi oleh akhlak dan pancasila yang kuat. Karena pintar saja tak cukup untuk menjadi manusia yang bisa benar-benar memanusiakan manusia. Saya juga menginginkan kemajuan yang pesat dalam bidang kebudayaan karena Indonesia terkenal dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah ditinggalkan oleh nenek moyang, dan kebutuhan kita untuk menjaga dan melestarikan supaya kelak anak cucu juga bisa terus menjaga dan melestarikan agar tidak punah ataupun diklaim oleh bangsa lain.
Selain itu saya juga berkeinginan untuk terus berinovasi untuk bisa mengolah hasil bumi (peternakan, perikanan, perkebunan, pertambangan, pertanian) Indonesia untuk warga Indonesia. Dari bidang pariwisata juga akan saya kembangkan supaya tetap terjaga nuansa keindahannya sehingga para wisatawan dapat betah ketika berkunjung. Dari segi keamanan dan ketertiban saya juga menginginkan adanya sanksi atau tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tanpa pandang bulu.
Dari segi transportasi saya menginginkan adanya transportasi yang nyaman serta semua orang baik dipelosok desa maupun di kota mampu untuk dijangkau dan kemudahan akses untuk setiap warga. Kebersihan lingkungan tempat tinggal bisa dijaga serta membuat pulau sampah yang nanti dimana sampah tersebut dapat diolah dan dapat digunakan lagi sebagai barang atau peralatan yang berharga.
Kesejahteraan hidup dan pekerjaan yang layak dan mapan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat supaya mengurangi angka kemisikinan, perlu digencarkannya kewirausahaan kecil dalam masyarakat menengah kebawah menjadi salah satu solusi pasti yang dapat menyerap tenaga kerja. Dari sektor hubungan dengan luar negeri juga tak lepas dari harapan saya, hubungan dengan luar negeri harus berjalan humanis serta menghasilkan perjanjian-perjanjian yang bersifat simbiosis mutualisme dan tidak ada monopoly yang merugikan salah satu pihak tersebut.
Saya ingin menghilangkan politik disini, karena dimata saya politik itu sama dengan menipu, kalau tidak menipu diri sendiri ya menipu orang lain dengan berbagai segudang alasan/rayuan dengan mengumbar banyak janji manis dan akhirnya tak sesuai dengan harapan.
Sesungguhnya banyak asa dan harapan untuk Indonesia lebih bisa maju, dan menjadi negara adidaya yang bisa menguasai negara sendiri, sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Dan harapan terbesar saya Indonesia menjadi negara yang makmur, adil, beradab, berakhlak dan mampu bersaing sehat dengan negara-negara lain. Sangat menyenangkan ketika bisa melihat bangsa kita ditinjau dari segala aspek bisa berjalan dengan selaras serta mampu benar-benar menjadi bangsa yang bisa mengayomi rakyat sendiri. Semua juga berharap supaya Indonesia mampu menanfaatkan dengan niat dan tujuan yang baik apa yang ada di di Indonesia dari pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Indonesia Bisa... Indonesia Bisa.. Indonesia Bisa meraih mimpinya menjadi negara yang kuat dan kokoh dalam segala aspek bidang kehidupan. (ny)



KARENA CINTA, AKU

Karena cinta, aku ciptakan gegunung kata
Agar kalian bisa mendaki dan mencapai ketinggian
Lalu gempa dan lahar solfatara, lereng kepundan retak
Aku lihat bagaimana kalian berkemas
Hidup pun tidak cuma gegas
Karena cinta, aku ciptakan sungai kata
Agar kalian bisa menghilir dan merasa dingin
Lalu batu dan tebing-tebing curam, muara pun terbuka
Aku lihat bagaimana kalian bangkit menepi
Karna batas hidup dan mati cuma palung-palung mimpi
Karena cinta, aku ciptakan samudera kata
Agar kalian bisa berenang dan menyelam kedalaman maknanya
Lalu angin dan gelombang pasang, layar pun terkembang
Aku lihat kalian berdiri di atas geladak
Meninggalkan tepian menuju cakrawala kehendak
***
Karena  aku cinta
Aku ingin kalian tetap menjadi orang-orang gunung, orang-orang sungai,
dan orang-orang laut
aku ingin kalian menjadi pewaris ilmu bawalaksana Muhammad,
ilmu pangawikan Khaidir, dan ilmu tongkat Musa
Orang gunung selalu sadar dataran rendah,
orang sungai selalu paham hulu dan hilir,
orang laut selalu tahu batas antara tepian pantai dan cakrawala
Janganlah kalian mau diperdaya hasutan-hasutan bergula
Kalian adalah hulu dan hilir sungai, hulunya gunung dan hilirnya samudera
Karena aku cinta
Aku ingin kalian tetap terjaga dengan mata nyala kepundan
Aku ingin kalian tetap rendah hati sesejuk dan dingin air kali
Aku ingin kalian tetap bangkit dengan gelora gelombang pasang
Lihatlah, masa depan adalah milik kalian
Mata kalian tidak boleh berkunang-kunang di bawah gemerlap merkuri
Lepaskan telikung-telikung yang mengatasnamakan kesantunan
Menyingkirlah dari kerumunan yang pura-pura memberi ruang
Karna itu semua merupakan muslihat
Agar kalian gampang ditaklukkan
Dan sisanya cuma proses pembusukan
Lihatlah kembali di mana kalian tengah berdiri
Pusaran peradaban tidak pernah berhenti
Maka belajarlah pada metamorfosis dedaunan
Karena hijau masa lalu kalian tidak pernah hilang
Betapapun kuning masa kini mulai merayap
Hijau gemilang masa depan tentu akan hinggap
Jadi, jangan sampai kalian kena bujuk rayu para siluman
Yang memasang iklan-iklan peradaban
Tapi di baliknya penuh dengan keculasan
Mereka bilang kalian bunga bangsa generasi mendatang
Tapi diam-diam kalian dihabisi dengan beragam aturan
Karena aku cinta
Aku ingin selalu bersama kalian
Mengubah dan menciptakan pakem yang ada
Wisanggeni, Antareja boleh mati sebelum Baratayudha
Tapi itu hanya terjadi dalam dongeng nenek moyang
Dalam pakem bangsa ini:
Abimanyu, Irawan, Gatotkaca, dan saudara-saudaranya
Akan menjadi pahlawan yang hidup di masa depan
Karna seribu panah fitnah, seribu pedang kebohongan,
Semuanya kehilangan tuah dan kesaktian
Kalian adalah Wisanggeni: kini dan esok hari
Bagi negeri ini
Karena aku cinta
Mari kita ciptakan palagan baru
Baratayudha tidak lagi terbatas di Padang Kurakasetra
Tapi di mana pun kita berdiri
Panah tak lagi Pasopati dan keris pun tak lagi Pulanggeni
Tapi adalah kemerdekaan dan kedaulatan diri
Gelar perang tak lagi Supit Urang atau Garudha Nglayang
Tapi adalah negosiasi dan jika perlu dekonstruksi
Bukan genderang perang yang dipalu bertalu-talu
Tapi genderang nurani dalam diri
Jadi, marilah kita saling genggam jari
Negeri ini juga butuh Jalan Sunyi
Yang bernama puisi
*sebuah puisi yang belum selesai ditulis, 27 April 2013

Pertanyaan vs Jawaban




Salah satu hal utama dalam pembelajaran konstruk adalah dengan bertanya kepada siswa mengenai topik  yang sedang diajarkan. Saat mencoba metode belajar konstruk selama micro teaching, pertanyaan dan jawaban mengalir dengan relatif mudah. Ya, karena itu semua hanya sandiwara.
Kenyataan di lapangan?
Siswa kelas tiga SD Inpres Ondo-ondolu SPC adalah yang paling “ekspresif” di sekolah. Mereka sangat bersemangat ketika proses belajar dilakukan dengan tanya jawab. Mereka mengangkat tangan dengan penuh semangat. Lalu bagaimana dengan jawaban yang mereka lontarkan? Tak terlalu buruk. Tapi kalau kita tidak siap mengantisipasi, jawaban yang mereka berikan dapat sangat diluar dugaan. Jawaban tersebut membuat kita berpikir ulang dan kemudian menyimpulkan: bukan jawabannya yang salah, melainkan pertanyaannya yang kurang tepat.
Pada pekan pertama mengajar, saya memberi materi mengenai benda hidup dan benda mati. Setelah sukses dengan pertanyaan mengenai benda hidup, saya kemudian beralih kepada benda mati.
“Siapa dapat menyebutkan contoh benda mati?”
Dengan penuh semangat Andis mengangkat tangannya, “Saya, Bu!”
“Ayo Andis!”
“Orang yang sudah mati, Bu...”
Saya tak tahan untuk tak tersenyum mendengarnya.
Di lain kesempatan, masih dalam pelajaran IPA, saya menjelaskan mengenai berbagai macam wujud benda. Saya memulai pelajaran dengan meminta mereka menyebutkan sebanyak mungkin benda yang ada di sekitar mereka. Banyak benda telah disebutkan, mulai dari benda padat, hingga benda cair. Namun, belum ada yang menyebutkan udara. Ya, mereka tak menganggapnya sebagai suatu benda sepertinya. Saya kemudian memancing dengan pertanyaan. Harapannya, akan terlontar jawaban udara dari salah satu siswa.
“Benda apa yang ada di semuuuuaaaaa tempat. Di rumah ada, di dapur ada, di lapangan ada, di kelas juga ada. Siapa yang tahu, benda apakah itu???”
Hamdani, yang termasuk salah satu siswa yang kurang percaya diri, mengangkat tangan dengan penuh semangat dan percaya diri. Ketika saya memilihnya, matanya terlihat berbinar. Sambil menarik nafas dan dengan penuh keyakinan dia menjawab dengan lantang,
“ S E T A A A N, Bu....”
Bahkan kali ini saya spontan tertawa. Sekali lagi, pertanyaan yang kurang tepat rupanya.
Meski demikian, tak jarang jawaban mereka begitu mengagumkan dan sangat tepat. Setelah menjelaskan berbagai jenis gerak benda melalui benda-benda sederhana, saya kembali bertanya.
“Coba, benda apa yang bergerak secara berputar?”
“Bola!”, jawab Fikri
“Kelereng!” jawab Wahyudi
Bagus, mereka mampu menghubungkan permainan dengan pelajaran. Saya masih membuka kesempatan untuk menjawab. Jawaban selanjutnya cukup mengejutkan.
“Kipas angin!” , jawab Meilan.
Kipas angin? Benar sekali. Benda yang sangat jarang terlihat di desa ini.
“Helikopter!”
Rupanya mereka membayangkan baling-baling helikopter. Bagus sekali.
“Kincir air! Kincir angin!”
Wah, ternyata mereka tahu tentang kincir angin dan kincir angin.
Selain dalam proses pembelajaran, terkadang pertanyaan diajukan sekedar iseng untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan mereka akan dunia luar. Suatu saat ditengah kerja bakti membersihkan kelas, saya bertanya,
“Hayo, siapa presiden Indonesia!”
Hampir serentak, mereka menjawab, “Jendral Sudirmaaaan”
“Looo.... kok bisaa??”, saya heran.
“Iya Bu.... Itu fotonyaaaa...”
Saya kemudian baru tersadar, efek tidak adanya foto Presiden dan Wakil Presiden di kelas ini. Rupanya, mereka mengira Jendral Sudirman adalah Presiden karena fotonya terpampang di kelas ini.
“Lihat....di foto ini ditulis, lahir tahun 1916 meninggal tahun 1950. Jendral Sudirman sudah meninggal dulu sekali.”
“Berarti yang di sini sudah meninggal semua, Bu??”
Anak-anak ini yang seringkali dicap bodoh dan bebal karena “keaktif-reaktifannya” ini memang tak boleh diremehkan. Mereka sama sekali tak bodoh. Imajinasi mereka berkelana, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
“Ayo siapa tahu lembah itu apa?”
“TAWON, Bu!”
“Bukaan, itu lebah....”
“Itu Bu, yang suka bikin sarang di dinding...”
Astaga....mereka menganggap lembah adalah laba-laba. Saya teringat tebak-tebakan yang biasa dilontarkan komedian di televisi.
Ketika jawaban yang diajukan ternyata salah, mereka mencoba lagi dengan tak kalah semangat. Dan ketika ternyata tetap salah dan mereka diberi jawaban yang benar, mereka akan memperhatikan dan mencoba mengingatnya. Beberapa minggu kemudian, saya teringat tentang nama presiden Indonesia dan mencoba kembali bertanya,
“Siapa presiden Indonesia?”
Bercampur dan berebut, serentak mereka menjawab sambil mengacungkan tangannya setinggi mungkin.
“Susilo Yudhoyono!”
“Bambang Susilo Yudoyono!”
“Susilo Bambang Yudhoyono!”
Tak buruk bukan?

Pendidikan sebagai Keteladanan Bangsa


Oleh Yudi latif

Pendidikan itu benih harapan. Jika masyarakat dilanda kekacauan, keterpurukan, ketertindasan, dan tak tahu kunci jawaban membebaskannya, jurus pamungkasnya adalah pendidikan.

Setiap 2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, berlandaskan hari lahir tokoh pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Sosoknya melambangkan pendidikan sebagai benih harapan untuk pembebasan, kepribadian, dan kepemimpinan. Ketika diskriminasi sistem pendidikan kolonial menyumbat kesempatan bersekolah bagi rakyat jelata, Ki Hadjar mendirikan sekolah alternatif secara berdikari sebagai titian pembebasan.

Di sekolah yang dicibir pemerintah kolonial sebagai ”sekolah liar” itu ditanamkan keyakinan bawa kunci keberhasilan pendidikan bukanlah fasilitas dan formalitas, melainkan tekad, kecintaan penggembalaan, dan karakter kepemimpinan. ”Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”.

Hanya sistem persekolahan yang berkarakter yang dapat menumbuhkan anak didik berkarakter. Sekolah yang hanya mengandalkan daya beli atau tumbuh dengan berbagai program dan materi pembelajaran proyek kementerian melahirkan anak didik sebagai komoditas. Nilainya tak lebih seperti emas sepuhan. Gemerlap dari luar, tetapi penuh kepalsuan di bagian dalamnya.

Pendidikan sebagai proses manipulatif, dengan menjadikan anak didik sebagai sarana eksploitasi proyek, adalah modus pembudayaan paling efektif untuk mencetak mental korup. Berapa pun angkatan terdidik yang dihasilkan tidak akan menjadi kekuatan pembebasan, malahan jadi sumber penindasan. Di tangan orang-orang pintar dengan mental korup, sebanyak apa pun kekayaan negeri ini tidak akan menjadi sumber kemakmuran, tetapi sumber eksploitasi bangsa lain.

Karena itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.

Tentang hal ini, Bung Karno mengisahkan pengalaman yang menggugah. Ketika diwisuda di Technische Hogeschool, sambil menyerahkan ijazah, rektornya berbisik, ”Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Sedemikian pentingnya karakter sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, ”When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, sebuah bangsa. Ibarat individu, setiap bangsa hakikatnya punya karakter tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian ”bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, ”Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”

Perhatian, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan 1950-an. Para pengkaji budaya periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk kemajuan bagi negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.

Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekonomi yang sama, sebagian kelompok lebih berhasil daripada kelompok lain. Di bidang politik, beberapa ahli, seperti Robert Putnam dan Ronald Inglehart, menunjukkan hubungan erat antara variabel karakter-budaya dan keberhasilan/kegagalan demokrasi.

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells, ”Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Ia lantas jawab sendiri, yang menentukan bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional harus melahirkan fajar budi dalam politik pendidikan, dengan menghidupkan dunia persekolahan sebagai wahana pembebasan, bukan sebagai wahana eksploitasi proyek. Keberadaban suatu bangsa terlihat dalam penghormatannya terhadap dunia pendidikan. Semasa perang dunia sekalipun, lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.

Pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek kejiwaan. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”

Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa seberat apa pun kesulitan, kemelaratan, dan penderitaan bangsa ini bisa diatasi oleh kekuatan karakter para pemimpinnya. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi ataupun kematian pemimpin, melainkan kehilangan karakter.


Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Motivation : "Berjuang, Bukan Dibuang!"



Tahun 1980-an menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Pulau Bawean. Pasalnya, daerah yang terpencil dan terisolasi ini kedatangan puluhan tenaga pendidik yang berasal dari induk pulau, yakni Pulau Jawa. Puluhan tenaga pendidik ini berasal dari berbagai macam daerah di Provinsi Jawa Timur. Mereka menempuh 120 mil perjalanan laut dari daratan Gresik menuju sebuah pulau kecil ditengah laut, bernama Pulau Bawean. Orang-orang di Pulau Jawa bilang, mereka ‘dibuang’. Benarkah?

Salah satu dari mereka adalah Pak Soenaryo, atau lebih akrab dipanggil Pak Yo, beliau kini adalah kepala sekolah SDN 2 Kepuhlegundi, sekolah tempat aku bertugas saat ini. Laki-laki berdarah Tulungagung itu tiba di desaku sekitar 30 tahun yang lalu. Lantas beliau ditugaskan mengajar di sebuah Sekolah Dasar terpencil di atas gunung. Setiap harinya, Pak Yo harus menempuh jarak 5 km menanjak gunung dengan berjalan kaki untuk tiba di sekolah. Saat itu hanya ada jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Pada siang yang terik sekalipun, Pak Yo harus turun gunung dari sekolah menuju rumahnya di pesisir pantai. Keadaan itu berlangsung hingga beberapa tahun.

Suatu hari, Pak Yo bersama rekannya berpikir untuk membuka jalan di tengah hutan-hutan itu. Ya, jalan dari pesisir (bawah) menuju ke atas gunung, tempat SD nya dan dusun kecil di sekelilingnya berada. Sayang, rencana itu tak semudah yang dibayangkan. Beberapa warga memang sudah bersedia mewakafkan tanahnya untuk dibuat jalan penghubung ke dusun di atas gunung. Namun, satu dua orang masih belum bersedia menyerahkan tanahnya. Ide membuat jalan itu pun harus pupus begitu saja.

Beberapa tahun berikutnya, ide membuat jalan penghubung seperti mencuat kembali bersama secercah harapan sepeninggal orang yang tidak bersedia mewakafkan tanahnya tersebut. Tanah itu pun menjadi warisan putranya. Pak Yo dan rekan-rekan guru lantas membujuk si putra pewaris untuk mewakafkan tanahnya. Sekali lagi, sayang, putra pewaris itu juga enggan memberikan tanahnya. Semesta pun bertindak. Seluruh warga, pejabat desa dan tokoh masyarakat setempat turut mengupayakan pemberian tanah tersebut. 

Ya, akhirnya berhasil, setelah beberapa orang mengacungkan golok dan parang kepada si pemilik tanah. Tak lama, terwujudlah jalan penghubung sejauh 5 km dari pesisir pantai ke atas gunung dengan membelah hutan. Setidaknya, sudah bisa dilewati kendaraan roda dua, meski harus berjuang. Dan baru beberapa tahun terakhir ini, jalan tersebut menjadi sempurna karena dibangunnya jembatan yang melintasi sungai sebelum memasuki dusun kecil tempat SD Pak Yo berada. Sebelumnya, orang-orang masih harus menggantungkan hidupnya pada beberapa batang kayu untuk melintasi sungai.

Jalan penghubung yang lancar seolah menjadi awal yang cerah bagi dusun kecil bernama Panyalpangan itu, terutama dalam hal pendidikan. Ya, akses jalan tersebut mempermudah pergerakan Pak Yo dan tenaga-tenaga pendidik lain untuk membangun pendidikan di dusun Panyalpangan. Pak Yo pun kini menjabat sebagai kepala sekolah. Namun, konflik paradigma melanda masyarakat dusun itu. Mereka berpendapat bahwa pendidikan agama lebih penting, oleh karena itu sebaiknya sekolah yang ada dijadikan Madrasah yang khusus agama saja, tanpa ilmu umum. Sementara Pak Yo dan beberapa tokoh masyarakat menginginkan adanya pendidikan ilmu umum yang tak kalah berguna bagi masyarakat. Konflik ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Pak Yo membuat keputusan. 

Gedung sekolah yang selama ini ditempati boleh digunakan sepenuhnya untuk Madrasah. Sementara Pak Yo mengalah dan mengusahakan berdirinya gedung baru yang seadanya untuk SD Negeri. Pak Yo pun mengangkat guru madrasah untuk mengajar di SD juga. Alhasil, hingga kini ada 2 sekolah yang berdiri di dusun itu, SD Negeri (di pagi hari) dan Madrasah Diniyah (di siang hari), dengan gedungnya masing-masing. Dengan demikian, anak-anak pun mendapatkan ilmu umum dan ilmu agama sama banyaknya. Masyarakat pun puas. Begitu pula guru-guru madrasah, kini mereka mempunyai kesempatan mengajar lebih banyak untuk mengumpulkan pundi-pundi materi untuk menghidupi keluarganya. Win Win Solution.

Prihatin dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung) siswa/i nya di kelas rendah, Pak Yo pun berinisiatif untuk mendirikan Taman Kanak-Kanak di dusun itu. Musyarawah lantas dilakukan bersama warga setempat. Masyarakat pun setuju. Dana operasional ditanggung oleh urunan (patungan) masyarakat dan aliran zakat. TK pun berdiri di dusun itu. Dan kualitas anak-anak kelas 1 dan 2 di SD pun perlahan membaik. 

Tak berhenti sampai TK, satu demi satu Pak Yo bersama masyarakat setempat membangun unit-unit pendidikan di dusun mereka. Selain TK, juga telah berdiri Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Kelompok Bermain (KOBER). Pak Yo juga berinisiatif membuka program Paket B (setara SMP) untuk warga-warga dusun yang tak mampu bersekolah di sekolah formal. Program Paket B tersebut disambut dengan gembira oleh warga setempat. Ya, mereka benar-benar membutuhkan itu.

Tahun ini, Pak Yo lagi-lagi membuat terobosan. Atas restu Pak Yo dan seluruh masyarakat, Gedung SD yang digunakan di pagi hari, kini berfungsi menjadi tempat sekolah anak-anak Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ya, satu lagi sekolah formal berdiri di dusun Panyalpangan, kali ini setara SMP. Hampir lengkap sudah unit-unit pendidikan berdiri di sebuah dusun yang terpencil itu. Mulai dari KOBER, PAUD, TK, SD, MDU (Madrasah Diniyah), hingga MTs yang kini menggantikan program Paket B yang sempat menjadi andalan warga. Semua lembaga itu (kecuali MTs dan MDU) di komandoi oleh Pak Yo sendiri dan warga setempat lah yang diberdayakan sebagai kepala sekolah lembaga-lembaga tersebut (kecuali SD, dipimpin langsung oleh Pak Yo sebagai kepsek). Poin pentingnya, semua lembaga pendidikan itu dapat berdiri berkat kekompakan masyarakat. Musyawarah dan Gotong royong ada dibalik segala kesuksesan itu.

Kini, impian Pak Yo tinggal satu, yaitu mendirikan SMA di dusun Panyalpangan. Hingga kini Pak Yo masih mempersiapkan warga-warga setempat yang berpotensi untuk menjadi guru tingkat SMA. Perlahan tapi pasti, satu demi satu, Pak Yo mengusahakan pemuda setempat untuk kuliah hingga S1 dan menjadi guru di dusunnya. Mungkin tak lama lagi impian Pak Yo akan terwujud. Mungkin tak lama lagi sebuah SMA/MA akan berdiri di dusun kecil itu. “Impian Saya, Panyalpangan ini menjadi kampung pendidikan. Kalau sebuah kampung punya lembaga-lembaga pendidikan yang lengkap, maka Saya yakin kualitas SDM nya akan maju dan kehidupannya akan berubah menjadi lebih baik”, begitu tutur Pak Yo yang sempat aku dengar langsung saat musyawarah pendirian MTs beberapa waktu lalu.

Menapaki pengalamannya membangun pendidikan di dusun Panyalpangan ini, aku tak heran bila Pak Yo pernah ‘disalami’ presiden SBY. Ya, tahun 2008 lalu, Pak Yo menerima penghargaan dari presiden sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Tingkat Nasional. Wow. Jadi betulkah Pak Yo dan rekan-rekan lainnya ‘dibuang’ ke pulau kecil ini 30 tahun lalu? Tidak. Orang-orang di pulau besar sana (baca: Pulau Jawa) boleh berkata mereka ‘dibuang’. Tapi bagiku, mereka berjuang, bukan dibuang. Dan mereka lah sejatinya seorang pejuang. 

Mengutip kata-kata Pak Anis Baswedan, “ibu kita masih melahirkan pejuang”. Pejuang-pejuang tersebut banyak yang bersembunyi di balik kesunyian dan ketentraman hidup di pelosok-pelosok desa terpencil se-antero negeri ini. Mereka tak bersuara keras, tak mengeluhkan gaji yang kecil, tak mengeluhkan fasilitas. Mereka hanya mengabdi dengan cinta yang tulus untuk mencerdaskan anak-anak negeri. Generasi penerus Indonesia yang terdidik, itulah satu-satunya imbalan yang mereka harapkan. Aku salut, dan aku banyak belajar dari mereka. 

Terima kasih atas inspirasi darimu, Pak Yo.
 

Sumber :