• Hai, Welcome ! Like us on:

Cara Menjadi Entrepeneur Sukses


Upin Ipin Edisi 4 29 April 2013 “Trik Gila Promosi Produk by Ippho ‘right’ Santoso
Salut mes amis coucou.. vous allez bien?
(salam untuk teman-temanku sayang :D... Bagaimana kabarnya?)
Kebetulan Upin Ipin kali ini duet dengan Ippho ‘right’ Santoso. Hmm, bagi teman-teman yang menjadi enterpreneur sekarang bisa memakai trik gila nya Ippho (sang pakar otak kanan, enterpreneur, marketer dan motivator internasional). Trik ini bisa dijumpai di buku Marketing Is Bulshit kaya Ippho sendiri. Di gramedia ada, di Sandra juga ada :D
Berikut beberapa trik yang kreatif, liar and it works 
1. Titip Nama. Setiap kali mengirim SMS, e-mail, ber gabung di milis, memberi testimoni, atau sejenisnya, pastikan teman-teman menitipkan nama, merek dan keunggulan bisnis/produk teman-teman. Yah, kapan lagi bisa promosi gratis :D
2. Sisip Nomor. Buatlah stiker atau poster yang memuat nomor-nomor penting seperti kantor polisi, rumah sakit, pemadam kebakaran, dll. Yang jelas, jangan lupa sisipkan merek dan nomor telepon teman-teman. Dijamin akan disimpan dan dipampang oleh konsumen dengan baik.
3. konter informasi. Hampiri konter informasi di mal dan bilang kepada petugasnya, “Pak, tolong panggilkan Pak Samsi. Isinya, Pak Samsi dari katering Putri Bungsu harap ke konter informasi. Ada pesanan kotak dari DPRD. Ditunggu segera”. Tentu trik ini sangat tokcer. Karena teman-teman disini bertindak sebagai pemilik katering Putri bungsu. Akan lebih tokcer bila Pak Samsinya ada di mal tersebut :D
4. SMS request. Cari tahu jadwal request lagu di radio ternama di kota teman-teman. Terus, ketiklah SMS seperti ini “Minta lagunya joshua yang diobok-obok dong. Dikirim buat Sandra yang sedang di Water Boom X, cepet pulang, jangan kelamaan, mentang mentang wahananya bagus-bagus terus betah disitu”. Tidak penting Joshua dan diobok-oboknya, yang penting adalah Sandranya, Hloh?!?!?!? Bercanda , yang penting adalah Waterboom Xnya yang terpromosi berkat SMS ini. Disini teman-teman diibaratkan pemilik waterboom Xnya. Nah biaya sms berapa? Kan sekarang banyak gratisan, jadi ya nilai promosi teman-teman hampir 0 rupiah. Dan itu cetar membahana badai tornado gempa tsunami pelanggan !\
5. Lemming effect. Bisnis yang ramai semakin ramai, bisnis yang sepi semakin sepi. Itulaf fatkanya dari Lemming effect. Jika teman-teman sedang membuka bisnis baru, maka pastikan tempat teman-teman itu ramai. Mintalah saudara, teman, pacar, tetangga untuk hilir mudik di tempat bisnis teman-teman. Misalnya baru membuka bengkel, maka mintalah mereka untuk parkir kendaraan mereka di bengkel teman-teman. Dan buatlah kesibukan layaknya bengkel udah jalan bertahun-tahun. Konsumen hanya tertarik dengan usaha yang udah terbukti jalan. Berlaku juga untuk restoran, salon, klinik, kursus, dll.
Ini baru sepenggal doank sih, sebenarnya ada tahap selanjutnya setelah promo ini berjalan. Pembeli adalah raja, tetapi tidak berarti penjual adalah budak. Ingin tahu lebih lanjut, baca bukunya Ippho atau menunggu Upin ipin selanjutnya :D. Rencananya upin ipin mau jalan-jalan ke AS, ketemu Robert T Kiyosaki nih :D. Siapa tahu Robert T Kiyosaki itu siapa? Hayoooooo.. beliau adalah enterpreneur dan terkenal dengan bukunya “Cashflow Kuadran” yang bermanfaat buat pengusaha dan marketer.
Sekian dulu Upin Ipin kali ini. Terma kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.
Au revoir (sampai jumpa).

Pemikiran-pemikiran Kartini, tentang dan untuk Bangsanya


Sesuai dengan gelar kepahlawanan yang melekat pada dirinya, pembahasan tentang R.A. Kartini seringkali hanya berkutat pada masalah emansipasi wanita. Tentu hal ini tidak salah, tetapi terasa kurang lengkap karena sesungguhnya pemikiran Kartini tidak hanya terfokus pada perjuangan emansipasi, namun juga menyoroti berbagai persoalan hidup yang relevan sampai hari ini. Kumpulan surat-suratnya, kecuali menyuarakan penderitaan wanita yang diperlakukan secara tidak adil, juga memaparkan ’penyakit ’masyarakat, seperti korupsi, kemiskinan, candu, dan kemunafikan dalam beragama. Demikian fantastis dan visioner pandangan hidup Kartini, sehingga di zaman yang serba modern ini pun kita dapat memetik pesan-pesan yang memancar dari keindahan pekertinya, yang ia tuangkan lewat ketajaman pena dan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang.
Salah satu contoh kepedulian Kartini terhadap moral masyarakat, ditunjukkan ketika ia menyoal para pecandu dan koruptor. Kepada Stella sahabatnya, Kartini mengungkapkan seluruh keprihatinannya. ”Suatu kejahatan, yang jauh lebih jahat dari minuman keras ada di sini, yaitu candu! Aduh, tidak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh benda laknat itu di atas negeri saya, pada bangsa saya....Perut lapar dapat membuat orang menjadi pencuri, tetapi ketagihan madat membuat orang menjadi pembunuh....”
Bagi masyarakat zaman ini, pemikiran gadis Jepara di tahun 1899 itu dapat dimaknai sebagai tanda peringatan agar berhati-hati terhadap keganasan candu, yang saat ini kita kenal sebagai salah satu jenis narkoba. Apabila di abad yang lampau (bahkan jauh sebelum teknologi  komunikasi merajai dunia) sudah ada seorang dara belia yang berwawasan demikian luas dan bijak, bagaimana dengan kita yang mengaku sebagai manusia-manusia modern ini? Hidup asal ’mengalir’, berkubang dalam narkoba dan hura-hura tanpa arah, bukanlah pilihan yang pantas dibanggakan karena justru menciderai kemajuan zaman yang dengan susah payah kita gapai. Setiap kemajuan semestinya menjadi berkah bagi kehidupan, bukan sebaliknya, merusak!
Kejahatan lain yang menjadi perhatian Kartini adalah perihal ’suap-menyuap’. Rupanya korupsi sudah ada sejak dulu dan Kartini dengan ketajaman nuraninya mengutuk praktek-praktek kotor itu. “….Tetapi kejahatan yang memang ada atau merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil….” Hanya menerima hadiah, Kartini sudah menganggap penerimanya sebagai manusia yang hina. Baginya pemimpin adalah pemberi contoh, sehingga pemimpin yang egois dipandang tidak layak menduduki posisinya. Membaca pernyataan Kartini, tidak malukah para koruptor itu, yang tidak saja menerima suap, tetapi bahkan ’merampok’ uang rakyat demi memuaskan gelojoh dirinya? Dengan perilaku ’rendah’ tersebut, tidakkah sesungguhnya mereka sedang menghinakan martabat serta harga dirinya? Sayang sekali, saat ini banyak manusia yang sengaja membungkam nuraninya, sehingga betapa pun tangan mereka berlumur kejahatan, sedikit pun mereka tak merasa bersalah, apalagi menyesal. Tindakan memperkaya diri di atas penderitaan rakyat kecil dianggap biasa dan mereka merasa berhak atas harta haram tersebut. Sungguh, dalam hal ini mereka perlu ’bersimpuh’ di kaki Kartini, ’belajar’ dari perempuan belia yang ikhlas berjuang bagi kejayaan bangsanya itu.
Perjuangan ’mengangkat’ masyarakat agar tidak hidup dalam kemiskinan, juga dilakukan Kartini semasa hidupnya. Tanpa mempedulikan gelar kebangsawanannya, dengan semangat ia menawar-nawarkan hasil karya rakyat Jepara kepada para kenalan, sehingga perekonomian terus meningkat. Semua itu dilakukan Kartini demi rakyat, atas nama cinta. ”....Senang sekali bahwa sekarang sudah ada tiga cabang kerajinan seni yang berkembang di tempat kelahiran saya. Saat ini kami sedang berikhtiar mencari kerajinan lain yang akan kami galakkan. Mereka sekarang tahu, mengerti, bahwa maksud kami adalah memakmurkan mereka sendiri. Mereka maklum akan keuntungannya sendiri, dan mereka menghargai usaha kami....”
Demikian tulus Kartini’berbuat’ bagi bangsanya. Dalam setiap hembusan nafasnya ada kebaikan yang ia tiupkan untuk sesama. Dalam hal beragama pun Kartini menunjukkan iman yangbenar, sehingga setiap kali menjumpai kemunafikan, hatinya sedih dan terluka. Ia bergidik pada kekerasan, pembantaian, dan anarkhisme, lebih-lebih jika halitu dilakukan atas nama agama. ”...agama yang seharusnya justru mempersatukan manusia, sejak berabad-abad telah menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa dan Yang Sama....”
Pandangan Kartini tentang kehidupan beragama yang penuh toleransi, hendaknya kita jadikan permenungan. Memang benar, jika umat yang mengaku beragama mau saling memberi hormat dan saling mengasihi, maka pertumpahan darah yang disebabkan oleh agama mustahil terjadi. Kita tidak perlu alergi terhadap perbedaan. Bukankah Tuhanyang Mahakreatif memang menciptakan kita berbeda satu sama lain, dengan masing-masing memiliki keunikan? Bukankah pada hakikatnya keragaman adalah sebuah keindahan yang mendewasakan? Seperti Kartini, barangkali kita perlu meyakini satu hal, bahwa inti dalam semua agama adalah kebaikan. Dengan demikian, pendustalah kita jika sebagai umat beragama, perilaku yang kita tunjukkan justru melecehkan agama yang kita anut.
Memperingati hari Kartini tahun ini, jangan kita berhenti pada sekedar menyanyikan lagu ”Ibu KitaKartini”, atau menggelar upacara bendera dan serangkaian lomba, namun mari belajar dari pemikiran-pemikirannya.Semoga dengan jujur kita berani mengkui, betapa banyak noda yang telah kita biarkan mengotori perjalanan hidup kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai sebuah bangsa. Semoga kemudian kita tidak hanya ‘berpura-pura’ khusyuk menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, namun sungguh-sungguh menghargai perjuangannya dengan melaksanakan kebaikan-kebaikan bagi kemanusiaan.

Dhenok Kristianti

Guru BI GMIS Bali

Biografi Dyah Permata Megawati Soekarnoputri



Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber)

Biografi Prof. Dr. Boediono, M.Ec.




Prof. Dr. Boediono, M.Ec.
lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943; umur 66 tahun adalah Wakil Presiden Indonesia yang menjabat sejak 20 Oktober 2009. Ia terpilih dalam Pilpres 2009 bersama pasangannya, presiden yang sedang menjabat, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Direktur Bank Indonesia (sekarang setara Deputi Gubernur).
Saat ini ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada sebagai Guru Besar. Oleh relasi dan orang-orang yang seringkali berinteraksi dengannya ia dijuluki       The man to get the job done. Boediono beristrikan Herawati dan memiliki dua anak, Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan.
Pendidikan
Gelar Bachelor of Economics (Hons.) diraihnya dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania. Ia mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999 dan “Distinguished International Alumnus Award” dari University of Western Australia pada tahun 2007.
  • Sarjana Ekonomi di University of Western, Australia (1967)
  • Master di Bidang Ekonomi dari Monash University, Australia (1972)
  • Doctor of Philosophy dari Wharton School, University of Pennsylvania, AS (1979)
  • Profesor dari Universitas Gadjah Mada (2006)
Riwayat Pekerjaan
  • 2009 – sekarang : Wakil Presiden Republik Indonesia
  • 2008 – 2009 Gubernur Bank Indonesia
  • 2005 – 2008 Menko Perekonomian Indonesia
  • 2001 – 2004 Menteri Keuangan
  • 1998 – 1999 Menteri Negara  Bappenas
  • 1993 – 1998 Direktur Bank Indonesia (saat ini setara Deputi Gubernur)
  • 1988 – 1993 Deputi Ketua Bidang Fiskal dan Moneter Bappenas
  • 1996 – 1997 Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan BPR
  • 1997 – 1998 Direktur I BI Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter
  • 1973 – 2009 : Guru Besar / Dosen

Kejujuran



Ternyata aku begitu marah dengan ketidakjujuran, mengingatkanku bahwa nilai ini ternyata amat penting dan sulit untuk kutoleransi. Aku menjadi menganalisa diriku sendiri tentang kemarahanku kepada Aco pagi ini, apakah ini soal ulahnya yang tidak mengerjakan PR lalu tidak paham-paham soal matematika sedangkan yang lain sudah mengerti atau ulah selanjutnya yang bikin aku amat geram... Atau bisa jadi ini adalah akumulasi ulah-ulah sebelumnya.
“Kalian sudah mengerti bagaimana caranya mendapatkan angka 4”  ucapku kepada anak-anak kelas 4. Salwa dan Ugy menjawab dengan penjelasan yang membuatku yakin mereka sudah paham. Lalu aku beranjak kepada Aco, yang dari tadi terlihat santai. Sebelumnya aku selalu bertanya kepada kelasku, “sudah selesai mencatat caranya di papan?”. Anak-anak terlihat lama menulis, dan khusus Aco, dia yang paling kencang menjawab “Sudah enci”,  berkali kali, lagi dan lagi...dia yang selalu bilang paling cepat “ sudah enci”. Jawaban Aco membuatku berfikir bahwa memang dia sudah selesai mencatat. Bagaimana Aco, coba jelaskan bagaimana cara mendapatkan angka 4 itu?”. Aco terlihat bingung dengan pertanyaanku, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab....”tidak tahu enci”, ucap Aco. “Kenapa tidak mengerti Aco, kenapa tadi tidak bertanya?”. Ucapku pada Aco. “Coba dibaca catatan yang tadi”, lanjutku pada anak ini.
Aco kemudian terlihat sangat bingung dengan permintaanku. Dia membolak balik catatannya beberapa kali. Kutegaskan padanya, “mana Aco, mana catatanmu”.   Aku kemudian meminta Aco membawa catatannya kepadaku, dan yap dia hanya mencatat beberapa kata awal saja, sisanya tidak ada. Kenapa Aco, kenapa tadi kamu berkata kepada Enci kamu sudah menyalin?. Aku menanyainya beberapa kali dengan pertanyaan yang sama tetapi dia hanya diam. Suaraku mulai meninggi, bukan hanya karena kejadian hari ini tetapi ketidakjujuran-ketidakjujuran lain yang sebelumnya dilakukan tidak hanya kepadaku tetapi orang sekitarnya.Kenapa kamu tidak bilang saja kalau kamu tidak menyalin Aco?. Rasa kesalku cukup memuncak hingga dengan cepat aku mengatakan banyak hal padanya. “ kalau kamu dari kecil sering tidak jujur begini, bagaimana nanti kalau kamu dewasa, siapa yang akan percaya kepadamu?kita boleh miskin Aco, tapi jangan jadi pembohong. Kalau gurumu saja kamu bohongi, apa kamu juga akan berbohong sama orang tuamu, enci..lebih suka kamu jujur walaupun nilaimu rendah dari pada kamu berbohong Aco”. Saat menulis ini kembali, aku menjadi berfikir, apakah dengan nada yang cukup tinggi tadi, apa yang kukatakan akan dipahami oleh anak ini.  
Aco hanya diam dan menulis-nuliskan sesuatu di meja. Tatap mata enci Aco....kenapa kamu diam saja. Aku kemudian memintanya untuk belajar di luar. “Silahkan keluar kelas saja Aco, kamu boleh pulang atau belajar diperpustakaan” pintaku kepadanya dengan nada yang sudah mulai terkendali. Aco menolak dan berkata “ janggan enci...”.  Aku kemudian mendiamkan dan tidak melibatkan Aco dalam proses pelajaran hingga selesai.
Ketika aku belajar psikologi dan mendapatkan pelatihan di Camp Pengajar Muda aku mendapatkan bekal bahwa secara teori pendidikan yang baik adalah berpusat kepada anak, menumbuhkan kesadaran pribadi, dan mengembangkan sesuai dengan potensi mereka. Sehingga seharusnya pembelajaran dibangun dengan suasana menyenangkan dan kontruks sesuai dengan level usianya. Jadi hei para guru, maka kreatiflah untuk membuat berbagai metode dan media belajar bagi anak. Kadang-kadang, jika menilik apa yang sudah dibekali kepadaku, menjadi sesuatu yang sangat utopis untuk dilakukan di sekolahku. Bekal yang kemudian dari hari kehari terus kubumikan dan mencari jalan tengah untuk mengajarkan sesuatu kepada mereka.
Ketika sebuah kultur yang jauh lebih mudah dengan didikan otoriter dan justru dianggap lebih manjur, atau ketika teguran lembut kepada anak justru tidak mempan????. Ketika pendekatan yang menyenangkan membuat anak kadang menggampangkan sesuatu? Ketika fokus guru seharusnya kepada sedikit anak bukan edisi paralelisme kelas dalam satu waktu, atau ketika menjadi PM dengan statusnya menjadi bagian dari warga desa ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Kesimpulan yang kudapat hari ini adalah sungguh luar biasa guru yang benar-benar berdedikasi itu ya....Ketika diantara banyak tuntutan peran di dalam hidupnya, namun mampu mendidik muridnya dengan baik. Sambil mengevaluasi diriku sendiri yang masih jauh dari kategori ini.
Well, Memang pada akhirnya, butuh tingkat kesabaran ala dewa untuk melakukannya, aku sebagai PM juga manusia bukan...yang bisa marah dan emosi menghadapi beberapa perilaku anak yang diluar toleransiku. Seorang teman pernah berkata kepadaku, marah kepada anak itu kadang-kadang diperlukan, biar anak-anak tau seorang guru itu adalah mengajar bukan menjadi badut yang hanya  membuat mereka senang. Yang terpenting setelah kamu marah adalah proses rekonsiliasi terhadap anak tersebut, sehingga marah akhirnya bisa menjadi pembelajaran untuk anak. Bahkan pada akhirnya di titik ini aku terus bertanya, pun jika akhirnya aku marah kepada anak, bagaimana seharusnya?. Pun nilai-nilai hidup yang kupunya, apakah memang sesuai dengan mereka?. Hemm...Aku sepertinya membutuhkan bekal ilmu lebih dari ini, lebih dari tumpukan buku yang pernah kubaca selama kuliah, atau runtutan uraian petuah dari para pakar yang pernah kudapatkan selama pelatihan. Menjadi seorang guru itu tidak hanya proses untuk terus bisa belajar tetapi cara untuk mencari defisini sabar.
Aco hanyalah salah satu anak dari puluhan anak yang sekarang menjadi bagian dari hidupku, yang dari hari ke hari tidak hanya memberikan pelajaran tetapi juga makna penting dalam diriku...membantuku mengenali lebih jauh apa dan bagaimana diri sebagai bagian proses untuk lebih baik.
Apapun... Alhamdulillah
Yuks, menikmati setiap detik yang sangat berarti...

Inspirasi dari Tasripin

KOMPAS/Gregorius Magnus FinessoTasripin (dua dari kanan) bersama ketiga adiknya di rumahnya di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (13/4). Tasripin terpaksa menanggung beban sebagai kepala keluarga setelah ditinggal kedua orangtuanya. Mereka sebatang kara setelah sang ibu meninggal, sedangkan ayah mereka bekerja di Kalimantan. Tasripin memilih berhenti sekolah dan menjadi buruh tani demi mendapat upah untuk makan nasi kerupuk atau garam bagi ketiga adiknya.

KOMPAS.com - Ketika jutaan anak-anak seusianya bersekolah, bermain, dan disayang orangtua, Tasripin (12) terpaksa menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya. Peran kepala rumah tangga kini disandangnya.

Tasripin mengambil alih tanggung jawab itu setelah ditinggal kedua orangtuanya. Kemiskinan kian menyudutkannya. Bocah itu tak lagi menikmati waktu, dan menguapkan cita-citanya menjadi guru.

Keseharian Tasripin, warga Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sudah dimulai saat azan subuh baru saja berkumandang. Ia memulai hari dengan menanak nasi di dapur yang gelap dan lembab. Ketiga adiknya dibangunkan, lalu satu per satu dimandikan.

”Yang paling kecil yang rewel. Nangis terus. Sering tak mau dimandikan jika sedang ingat bapak. Jika ada uang, saya kasih, baru diam,” tutur Tasripin, Sabtu (13/4), di rumahnya, yang jauh dari standar kelayakan di kaki Gunung Slamet.

Beda dengan rumah sebelahnya yang berlantai keramik dan bertembok, rumah yang ditempati Tasripin dan adik-adiknya terbuat dari papan berukuran sekitar 5 meter x 6 meter. Hanya dua kursi panjang dan satu meja kayu yang menjadi perabot di ruang yang lantainya beralaskan semen pecah-pecah itu. Meski hari sudah mulai siang, ruangan itu pengap.

Tasripin dan ketiga adiknya, Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4), tidur di dipan kayu beralaskan karpet plastik. Saat dingin menyergap, mereka hanya berselimutkan sarung. Lingkungan yang jelas tidak sehat bagi bocah-bocah itu.

Setelah memandikan ketiga adiknya di pancuran yang mengalir alami di belakang rumah, Tasripin menyuapi Daryo, si bungsu. Pagi itu, mereka sarapan mi instan.

”Ini sedang ada rezeki, Pak. Jika enggak ada uang, ya nasi putih sama kerupuk, kadang cuma sama garam,” ujar Tasripin. Ia putus sekolah sejak kelas tiga sekolah dasar (SD) sebab harus mengurus ketiga adiknya itu.

Satinah, ibu mereka, meninggal dua tahun lalu, di usia 37 tahun, akibat terkena longsoran batu saat menambang pasir di dekat rumahnya. Kuswito (42), ayah mereka, sudah setengah tahun terakhir ini merantau ke Kalimantan bekerja di pabrik kayu bersama Natim (21), anak sulungnya.

Jadi buruh tani

Meski yatim dan jauh dari ayahnya, Tasripin berusaha mandiri. Ia cekatan mengurusi adik-adiknya. Untuk makan sehari-hari, dia bekerja membantu tetangganya menjadi buruh tani, bekerja di sawah, mengeringkan gabah, hingga mengangkut hasil panen turun. Ia tidak mengeluh meski harus naik bukit sejauh 2 kilometer dari sawah ke rumah juragannya. Tasripin berangkat ke sawah pukul 07.00 dan pulang pukul 12.00. ”Kadang dibayar beras, kadang uang Rp 10.000. Dicukupin buat makan dua kali sehari. Harus disisain buat jajan adik-adik,” jelasnya.

Sering kali ia terpaksa berutang. Beruntung, tetangganya memaklumi kondisi mereka. ”Kami paham kondisi mereka. Jika Tasripin beberapa hari tidak ada pekerjaan, tetangga atau bibinya yang kasih makan,” ujar Salimudin (59), pemilik warung tempat Tasripin biasa membeli bahan makanan.

Selain memasak, Tasripin juga mencuci pakaian, menyapu rumah, hingga terkadang membetulkan talang air rumahnya yang bocor. Meskipun bekerja, dia selalu memantau ke mana adik-adiknya bermain. Jika sore menjelang dan adiknya belum pulang, ia akan mencari mereka hingga ke hutan.

Ayahnya beberapa kali mengirim uang melalui bibi Tasripin. Uang itu untuk membayar listrik dan kebutuhan mendesak, seperti jika ada adiknya yang sakit. Akibatnya, sekolah menjadi barang mahal bagi mereka. Dari keempat anak itu, hanya Daryo yang bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD).

Tasripin sebenarnya masih terlilit biaya sekolah lebih dari Rp 100.000 di SD Negeri Sambirata 3. Kedua adiknya, Dandi dan Riyanti, tidak melanjutkan sekolah karena malu sering diejek teman-temannya. Riyanti, adik perempuannya, sakit. Ada luka di kepalanya.

Meski miskin dan tidak merasakan pendidikan, Tasripin merasa bertanggung jawab pada akhlak adik-adiknya. Tiap sore dia mengajari adik-adiknya membaca Al Quran. Dengan sabar, dia juga mengajak adiknya shalat dan mengaji di mushala depan rumahnya. Saat malam kian larut, ia mulai menidurkan adiknya. Dinginnya angin gunung yang menelusup melalui celah papan rumahnya dilawan Tasripin dengan memeluk erat adik-adiknya yang lelap.

Terpencil dan tertinggal

Potret kehidupan Tasripin tak lepas dari kemiskinan yang membelenggu keluarganya. Ini diperparah kondisi Dusun Pesawahan yang terpencil. Saat masih bersekolah, Tasripin harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer melintasi jalan berbatu, perbukitan, dan hutan setiap hari.

Kepala Dusun Pesawahan Warsito membenarkan, banyak anak putus sekolah dan tak menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun di dusunnya. Selain faktor jarak, kemauan untuk belajar warga dusun itu juga masih rendah. Bahkan, di dusun itu hanya ada dua lulusan sekolah menengah atas dan dua lulusan sekolah menengah pertama. ”Ratusan warga masih buta huruf,” kata Warsito.

Dusun Pesawahan berjarak sekitar 30 kilometer dari Purwokerto, pusat kota Banyumas. Dusun itu terdiri atas 103 rumah dengan penduduk berjumlah 319 jiwa.

Bupati Banyumas Achmad Husein mengaku khawatir kisah Tasripin hanya fenomena gunung es di Banyumas. Aparatur pemerintah harus peduli.

Program Perhitungan Gaji Karyawan


#include <iostream.h>
#include <iomanip.h>
#include <string.h>
#include <conio.h>

void masuk();
void garis();
void main()
{
   garis();
   cout <<"\n PROGRAMMING GAJI KARYAWAN " <<endl;
   cout <<" oleh : Nanang Yuniantoro " <<endl<<endl;
   garis();
   masuk();
   garis();

   getch ();

}

void masuk()
{
char nama[30], naama[30];
float nik, hari;
   int lembur;
   double gaji;
   cout <<endl;
   cout <<" Masukkan Nama Anda = "; cin>>nama;
   strcpy(naama, nama);
   cout <<" Masukkan NIK Anda = "; cin>>nik;
   cout <<" Masukkan Jumlah Hari Anda Masuk = "; cin>>hari;
   cout <<" Masukkan Berapa Jam anda lembur = " ; cin>>lembur;
   garis();
   gaji=(hari*75.000)+(lembur*10.000);
   cout <<endl;
cout <<"Nama | NIK | Hari Masuk | Lembur | Total " <<endl;
   cout <<""<<naama<<" "<<nik<<" "<<hari<<" "<<lembur<<" Rp. "<<gaji<<"rb"<<endl;
}
void garis()
{
int i;

   for (i=0;i<35;i++)
   cout <<"-";
   cout <<endl;
}

Kisah Guru Bijak Dan Sebuah Toples


Sebuah kisah inspiratif populer. Pada suatu waktu, terdapat seorang guru yang bijak. Banyak murid yang datang dari tempat jauh, untuk mendengarkan petuah bijaknya. Pada suatu hari, seperti biasa, para murid berkumpul untuk mendengarkan pelajaran dari sang guru.


Banyak murid mulai datang memenuhi ruang pengajaran. Mereka datang dan duduk dengan tenang dan rapi, memandang ke depan, siap untuk mendengar apa yang dikatakan oleh  sang guru.

Akhirnya sang guru pun datang, lalu duduk di depan para murid-muridnya. Sang guru membawa sebuah toples besar, disampingnya terdapat setumpuk batu kehitaman seukuran genggaman tangan. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sang guru mengambil batu-batu tersebut satu persatu, lalu memasukkannya hati-hati ke dalam toples kaca. Ketika toples tersebut sudah penuh dengan batu hitam tadi, sang Guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"
"Ya guru," jawab para murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tanpa berkata apa-apa, sang guru mulai memasukkan kerikil-kerikil bulat berwarna merah ke dalam toples itu.Kerikil-kerikil itu cukup kecil sehingga jatuh di sela-sela batu hitam besar tadi. Setelah semua kerikil masuk kedalam toples, sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"
"Ya guru," jawab para murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Masih tanpa berkata apa-apa lagi, kini sang guru mengambil satu wadah pasir halus, lalu memasukkannya ke dalam toples. Dengan mudah pasir-pasir tersebut pun masuk memenuhi sela-sela kerikil merah dan batu hitam. Setelah masuk semua, kini sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya lagi.

"Apakah toplesnya sudah penuh?"

Sekarang para murid tak terlalu percaya diri menjawab pertanyaan gurunya. Namun terlihat bahwa pasir tersebut jelas memenuhi sela-sela kerikil di dalam toples, membuatnya terlihat sudah penuh. Kali ini hanya sedikit yang mengangguk, lalu menjawab,

"Ya guru," jawab beberapa murid, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tetap tanpa berkata apa-apa lagi, sang guru berbalik mengambil sebuah tempayan berisi air, lalu menuangkannya dengan ahti-hati ke dalam toples besar tersebut. Ketika air sudah mencapai bibir toples, kini sang guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya lagi.
"Apakah toplesnya sudah penuh?"

Kali ini kebanyakan murid memilih diam, namun ada dua hingga tiga yang memberanikan diri menjawab,
"Ya guru," jawab sedikit murid tersebut, "Benar, toples itu sudah penuh".

Tetap tanpa berkata apa-apa lagi, sang guru mengambil satu kantong berisi garam halus. Ditaburkannya sedikit-sedikit dan hati-hati dari atas permukaan air, garam pun larut, lalu ditambahkan lagi sedikit, demikian seterusnya hingga seluruh garam tersebut habis larut dalam air. Kini sang guru menghadap kepada par amurid, dan sekali lagi bertanya, "Apakah toplesnya sudah penuh?"

Kali ini semua murid benar-bnar diam. Hingga akhirnya seorang murid yang berani menjawab, "Ya guru, toples itu sekarang sudah penuh".

Sang guru menjawab, "Ya benar, toples ini sekarang sudah penuh".
Sang guru kemudian melanjutkan perkatannya,

"Sebuah cerita selalu memiliki banyak makna, dan setiap dari kalian telah memahami banyak hal dari demonstrasi ini. Diskusikan dengan tenang sesama kalian, apa hikmah yang kalian punya. Berapa banyak hikmah berbeda yang dapat kalian temukan dan kalian ambil darinya."

Para murd pun memandang sang guru, dan ke arah toples yang kini berisi dengan berbagai warna, ada hitam, ada merah, ada pasir, air, dan garam. Lalu dengan tenang mereka mendiskusikan dengan murid lainnya. Setelah beberapa menit kemudian sang guru mengangkat tangannya, seluruh ruangan pun diam. Sang guru lalu berkata,
"Selalu ingatlah bahwa tak pernah ada hanya satu interpretasi dari segalanya. Kalian telah mengambil semua hikmah dan pesan dari cerita, dan setiap hikmah, sama pentingnya dengan yang lain.

Lalu tanpa berkata-kata lagi, sang guru pun bangkit dan meninggalkan ruangan.

Kisah inspirasi diatas diterjemahkan dari
http://www.rogerdarlington.me.uk/stories.html Kisah Guru Bijak dan Sebuah Toples

Komunitas Menara, PAUD Berkualitas Tanpa Biaya


Ahmad Fuadi

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini banyak pihak yang mulai peduli dengan masalah pendidikan di Indonesia, khususnya bagi anak-anak dari kalangan menengah ke bawah. Tanpa banyak bicara, pria ini langsung mengambil langkah konkret untuk anak-anak ini.
Sosok ini tentu telah dikenal oleh banyak orang melalui buku bertajuk "Negeri Lima Menara". Ya, dia adalah Ahmad Fuadi. Kesuksesannya dalam menulis buku tersebut membuahkan hasil yang yang tak disangka dan membuatnya tergerak untuk menggunakannya dalam wujud kepedulian sosial.
"Saya tidak pernah menyangka. Saat berpikir mau diapakan hasil yang saya peroleh, saya ingat kata guru saya bahwa orang sukses adalah orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain," kata Fuadi saattalkshow pada kegiatan Indonesia Menyala di Kantor Pusat JNE, Jakarta, Sabtu (13/4/2013).
"Bermanfaat bagi keluarga dan teman itu hanya lingkup kecil saja. Akhirnya saya berpikir mendirikan sebuah komunitas. Jadilah Komunitas Menara," ujarnya.
Komunitas Menara merupakan tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) yang diperuntukkan bagi anak-anak dari kalangan keluarga tidak mampu. Untuk masuk ke komunitas ini, orangtua anak-anak tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Namun, bukan berarti pendidikan yang diberikan di sana tidak berkualitas meski semuanya gratis.
Para guru yang mengajar di sekolah yang terletak di Bintaro, Jakarta Selatan, tersebut tetap menjalani pelatihan mengajar secara berkala sehingga kualitas pendidikannya tetap terjaga. Komunitas yang berdiri sekitar dua tahun ini juga diperkuat oleh relawan-relawan yang selalu menggagas kegiatan edukatif untuk anak-anak yang bergabung di komunitas.
"Saya sengaja memilih PAUD karena segala hal yang baik itu berawal dari usia dini. Apalagi melihat kondisi negara sekarang yang banyak terjadi korupsi dan itu orang pintar yang melakukannya. Berarti pembentukan karakter saat kecil masih kurang," kata Fuadi.
Hingga saat ini, murid yang bergabung di Komunitas Menara ini berjumlah sekitar 40-an anak. Agar tepat sasaran dengan tujuan memberikan pengajaran kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, Fuadi melakukan seleksi yang sangat ketat bahkan hingga melakukan survei untuk melihat kondisi keluarga anak tersebut.
Selain itu, saat ini kondisi ruangan yang digunakan untuk aktivitas belajar-mengajar belum bisa memuat banyak sehingga ia harus mempertimbangkan dengan baik calon siswanya. "Kami benar-benar melihat keadaannya dan mencari yang benar-benar tidak mampu. Saya berharap ini tidak hanya berhenti di Jakarta," ujarnya.
Editor :
Laksono Hari W

Apakah Manusia Perlu Tuhan untuk Menjadi Bermoral?



KOMPAS.com — Mana yang lebih tepat? Apakah manusia bermoral karena percaya Tuhan atau manusia percaya Tuhan karena manusia bermoral. Hingga kini, jawaban pasti pertanyaan itu masih menjadi perdebatan.

Frans de Waal, ahli primata ternama dunia, biolog di Emory University dan Direktur Living Links Center di Yerkes Primate Center di Atlanta, mencoba memberi uraian untuk menuju pada jawaban akan pertanyaan tersebut lewat bukunya, The Bonobo and the Atheist.

Agamawan dan kaum pemeluk agama yang taat pastinya akan menjawab bahwa manusia bermoral karena percaya Tuhan. Namun, De Waal menjawab sebaliknya. Menurutnya, manusia percaya Tuhan karena manusia bermoral.

Jawaban De Waal didasarkan atas hasil penelitian selama bertahun-tahun pada perilaku primata besar seperti simpanse dan bonobo. Ia menunjukkan bahwa moralitas berkembang sebelum manusia dan kebudayaan manusia berkembang.

Penelitian menunjukkan bahwa primata besar memiliki empati. Mereka memiliki rasa keadilan, mereka bisa memelihara dan peduli satu sama lain serta mampu berbagi dengan individu lain yang kurang beruntung.

Karakter primata yang menyerupai sifat manusia tersebut membuat De Waal berpikir bahwa primata pun punya akar moralitas. Walaupun, memang, primata selain manusia belum bisa dikatakan bermoral; primata punya penyusun utama moralitas.

Dalam bukunya, De Waal menuliskan, "Ada sedikit bukti bahwa hewan menilai kesesuaian suatu aksi yang tak secara langsung berdampak pada dirinya. Dalam perilaku ini, kita pun mengenal nilai yang sama."

"Saya mengambil petunjuk-petunjuk kepedulian pada komunitas ini sebagai tanda bahwa penyusun utama moralitas lebih tua dari kemanusiaan, dan kita tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa sampai pada posisi kita sekarang," tulis De Waal seperti dikutip ABC News, Senin (8/4/2013).

De Waal yang juga seorang ateis menegaskan, moralitas berkembang dari proses perkembangan spesies manusia itu sendiri, bukan diberikan oleh Tuhan. Ia mengungkapkan tanda lain adanya moralitas pada primata. Salah satunya, primata selain manusia juga bisa merasa bersalah.

Kasus tersebut dijumpai pada bonobo bernama Lody di Kebun Binatang Milwaukee County. Bonobo itu menggigit tangan dokter hewan yang memberikannya vitamin. Akibat gigitan, dokter hewan tersebut kehilangan satu jari.

Mendengar teriakan sang dokter saat jarinya digigit, Lody menengok ke atas dan terkejut. Ia lalu melepaskan tangan yang sudah kehilangan satu jari itu. Hari berikutnya, saat dokter hewan kembali menengoknya, Lody lari ke sebuah sudut, menundukkan kepala dan melingkarkan tangan di tubuhnya.

Yang mengejutkan, 15 tahun setelah berpisah dengan dokter hewan itu, Lody tetap mengenalinya dan mengingat kesalahannya. Saat dokter hewan itu berdiri di kerumunan, Lody berlari ke dokter itu seraya melihat tangan kiri sang dokter. Lody terus melihat tangan dan wajah dokter itu.

Apa yang dilakukan Lody menjadi bukti adanya bibit-bobot moralitas pada hewan. Apakah Lody merasa malu? Atau, apakah dia takut akan pembalasan? Yang jelas, apa yang dilakukan Lody adalah bukti bahwa dia merasa bersalah, sekaligus menjadi tanda bahwa ia punya bibit moralitas.

Berkali-kali, para ahli primata juga mendokumentasikan rasa bersalah, sedih, dan iba saat pada individu lain yang sekarat, pada ibu kera yang kehilangan anaknya, serta memelihara anakan yang kehilangan orangtuanya.

"Beberapa orang mengatakan, hewan adalah diri mereka sendiri, sementara manusia mengikuti sesuatu yang ideal, tapi itu terbukti salah. Bukan karena kita tak punya sesuatu yang ideal tetapi karena mereka pun memilikinya," tulis De Waal.

Ada satu kasus menarik. Bonobo pun tahu cara mencegah perang. Koloni bonobo kadang berkumpul saat dua pejantan akan berperang. Yang menarik, saat perang telah siap dimulai, bonobo betina yang ada di sekitarnya justru mulai bercinta dengan sesama ataupun lawan jenisnya.

Dalam sudut pandang manusia, apa yang dilakukan bonobo itu bisa disebut orgy. Lalu, apakah orgyadalah wujud moral? Pastinya, bagi manusia, hal itu tidak bermoral. Namun mungkin, bonobo hanya menyadari bahwa memang lebih baik bercinta daripada berperang.
Sumber :
ABCNews
Editor :
yunan

Program Target Menetukan IPK Kumulatif


Buat Kawan-kawan yang ingin menghitung IPK kumulatif silahkan coba.. hehe


// Program 9 April 2013

#include <iostream.h>
#include <conio.h>
#include <iomanip.h>

void garis();  //prototype untuk garis
void main()
{
   int i;
   float o[20], n, rata, total;

garis();
cout <<setw(40)<<" Programing Function di function " <<endl;
   cout <<setw(38)<<" oleh   :   Nanang Yuniantoro " <<endl;
   garis();
   cout <<endl<<endl<<endl;
   garis();
   cout <<setw(35)<<" Daftar Target IPK  " <<endl<<endl;
   garis();
   cout <<" Masukkan Target IPK selama (Semester) = " ;cin>>n;
   for (i=0;i<n;i++)
    {
    cout <<" Semester ke - " <<i+1<< " = "; cin>>o[i];

      }
      clrscr();
   garis();
   cout <<"        Semester " <<"                Target IPK " <<endl;
   garis();
   for (i=0;i<n;i++)
   {
     total=total+o[i];
     rata=total/n;
}
   for (i=0;i<n;i++)
    {
         cout<<"|"<<"          "<<i+1<<"             | "<<"           "<<o[i]<<"          |";
         cout <<endl;
      }
   garis();
   cout <<" Jumlah Total    = " <<total<<endl;
   cout <<" IPK Kumulatif   = " <<rata<<endl;
   getche();
}
void garis()
{
int i;
   for (i=0;i<50;i++)
   cout << '+' ;
   cout <<endl;
}



Para Pengungkap Kecurangan UN Itu Kini Berjuang Sendiri


KOMPAS.com — "Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah. Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal, saya cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur."
Demikian dikatakan Muhammad Abrary Pulungan (14) seusai pemutaran video dokumenter kolaborasi "Temani Aku Bunda" dan diskusi "UN untuk Apa?", Sabtu (6/4/2013) lalu, di XXI Epicentrum, Jakarta. Video dokumenter berdurasi 77 menit yang dibuat selama lebih dari satu tahun itu berkisah tentang pengalaman Abrar yang pernah melaporkan kecurangan ujian nasional (UN) di sekolahnya, SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dua tahun lalu atau tepatnya Mei 2011.
Pengalaman buruk dan traumatik bagi Abrar itu berawal ketika dua hari sebelum UN ia dan beberapa temannya disuruh oleh salah satu gurunya membuat kesepakatan saling membantu memberikan jawaban soal saat ujian. Dalam kesepakatan tertulis itu, para siswa dilarang memberi tahu siapa pun, termasuk orangtua.
Pada saat ujian, Abrar gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban, padahal ada pengawas yang sedang bertugas. "Kita disuruh merahasiakan dari orangtua atau saudara sampai dewasa," kata Abrar di dalam film dengan produser Yayasan Kampung Halaman dan sutradara Tedika Puri Amanda serta Irma Winda Lubis (ibu dari Abrar) itu.
Setelah ujian dan sesampainya di rumah, Abrar tidak tahan dan mengadu ke ibunya sambil menangis.
Mendengar cerita anaknya, Winda pun berang dan meminta sekolah mengakui dan meminta maaf ke publik. Seluruh proses perjalanan Winda mencari kebenaran dan keadilan bagi Abrar tak kunjung berbuah sampai hari ini. Pemerintah daerah melalui dinas pendidikan telah membentuk tim investigasi, tetapi hasilnya nihil.
Keluarga Abrar pun ke sana kemari mengadu ke berbagai lembaga bantuan hukum dan berbagai organisasi pejuang hak anak untuk meminta perlindungan, tetapi sampai kini tanpa kabar.
Segala macam bukti telah diserahkan, termasuk rekaman suara pengakuan guru Abrar kepada orangtua Abrar. Di dalam film terdengar jelas suara guru Abrar yang mengaku meminta para siswa untuk berlaku tidak jujur. Alasannya, ia hanya ingin membantu siswa dan orang tua agar lulus UN.
"Abrar dibilang gurunya kalau ia hanya terlalu sensitif dan kita harus ikut arus orang lain," kata Winda.
Meski perjuangan terasa tanpa ujung, Winda dan suaminya tidak patah arang. Apalagi karena Abrar pun meminta kedua orangtuanya, terutama ibunya, untuk tidak menyerah dan tetap berjuang. "Saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh," kata Abrar dalam sesi diskusi.
Diusir warga
Kasus serupa pada tahun yang sama juga dialami Alif (14), siswa yang melaporkan kecurangan UN di sekolahnya, SD Negeri Gadel 2, Tandes, Surabaya. Alif juga diminta guru memberikan jawaban soal UN kepada temannya yang tidak tahu.
Kasus ini ramai diperbincangkan hingga keluarga Siami (ibu Alif) diusir warga dari rumahnya karena tidak suka dengan kejujuran Alif. Alif dan keluarganya pun dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, hingga masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
"Kami mendidik Alif untuk selalu jujur dan percaya dengan kemampuan sendiri. Tetapi, di sekolah ia malah diajari tidak jujur. Saya dihujat masyarakat dan dianggap sok pahlawan," kata Siami yang datang ke pemutaran film tanpa Alif.
Bagi orangtua siswa lain dan masyarakat setempat, kata Siami, berbagi jawaban soal ujian sudah hal yang lumrah wajar. Guru yang meminta Alif berbagi jawaban itu pun justru dianggap oleh masyarakat hanya berkeinginan membantu siswa agar lulus UN.
Bagi Siami, hal ini tidak bisa dibiarkan dan ia harus bertindak. "Kalau saya diam saja dan tidak berjuang, nanti saya tidak bisa kasih contoh baik ke anak saya," ujarnya.
Sayangnya, seperti halnya Winda, Siami kini juga berjuang sendiri. Setelah satu tahun kasus Alif berlalu, semua dukungan dan bantuan menguap entah ke mana. Padahal, Siami merasa Alif masih membutuhkan bantuan, terutama pendampingan psikologis.
"Yang penting anak saya punya teladan orang dewasa yang berlaku jujur," ujarnya.
Psikolog anak Silmi Kamilah Risman berharap orangtua selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini di rumah karena anak sudah mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di masyarakat. Orangtua harus tetap kritis meski harus menentang arus.
"Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak," ujarnya.

Sumber : kompas.com

Berbagi Pendidikan dengan Anak-anak Kaki Merapi


Berbagi Pendidikan dengan Anak-anak Kaki Merapi


Suasana antusias anak-anak ketika maju menuliskan jawaban dari pertanyaan pengajar.


            FOSMA MENGAJAR adalah salah satu program kerja dari UKM FOSMA UNY (Forum Musyawarah Mahasiswa), FOSMA MENGAJAR atau FM ini bertujuan untuk membantu memajukan pendidikan di daerah-daerah terpencil yang berada di Yogyakarta, FM telah bekerjasama dengan kepala dusun didaerah Magelang yang berada tepat dibawah kaki gunung merapi yang bersuhu dingin.
            Pagi itu jam 07.15 kami rombongan dari FOSMA MENGAJAR sampai disana dengan rasa tidak sabar ingin segera menularkan ilmu kepada anak-anak yang riang menyambut kedatangan kami, kemudian kami bergegas untuk membagi diri dan mengajar ke kelas-kelas dari kelas 1 sampai kelas 6 SD. Beraneka ragam pelajaran tersedia disitu, mulai dari belajar menulis untuk anak-anak TK, ada yang belajar tentang dunia hewan, tumbuhan, dan bahasa inggrisnya untuk anak-anak SD kelas 1 dan 2, ada yang belajar bilangan pecahan, pembagian untuk anak SD kelas 3, ada  yang belajar tentang sisi, titik sudut, rusuk kemudian pemeranan dialog dalam pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas 4 SD, lalu ada pelajaran matematika dan sejarah untuk kelas 5 SD dan kelas 6 SD mempelajari tentang persiapan UN.
            Beraneka ragam ekspresi ditunjukkan oleh anak-anak tersebut ada yang sangat antusias untuk aktif maju menjawab pertanyaan yang diberikan oleh  pengajar, ada juga yang keluar meninggalkan kelas karena ingin melihat kelas yang lain. Banyak kejadian-kejadian yang menarik disana bisa memberikan ilmu yang sangat berguna untuk masa depan mereka. Sebenarnya mereka memiliki potensi yang luar biasa untuk menuntut ilmu ini, mereka giat dan rajin untuk belajar.
            Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 9.00 WIB, anak-anak yang melihat jam dinding itupun bergegas mengemasi peralatan belajar dan memasukkan kedalam tas, dan waktunya kami untuk mengakhiri pelajaran pada pagi yang menyenangkan ini. Dan setelah ini kami sedikit berdiskusi dengan pemuda dan kepada dusun untuk membahas besok akan mengadakan try out untuk yang kelas 6, dan juga kami banyak berdialog disitu mengenai masa depan anak-anak didaerah situ yang hanya berpendidikan SMP kemudian bertani salak dan bapak kepada dusun juga bahwa tingkat kesadaran orang tua akan pendidikan anaknya itu masih kurang jadi masih berpola dengan kehidupan yang dulu, serta masih banyak frame-frame negatif.